Selasa, 27 Desember 2016

Cadar: Sebuah Tuntunan Agama ataukah Sekedar Budaya?


            Cadar, begitulah orang-orang menamainya. Sebuah kain yang digunakan wanita untuk menutupi wajahnya bahkan ada juga yang matanya ditutup yaitu yang biasa disebut  burqa‘ sehingga kemana-mana harus dituntun suaminya, karena ia tidak bisa melihat sekeliling. Dengan balutan kain hitam-hitam yang menyelimuti seluruh tubuh ini mungkin akan terlihat sedikit menyeramkan bagi orang awam. Dalam benak mungkin ada pertanyaan yang muncul mengapa mereka bercadar? Apakah wajahnya menyeramkan sehingga mereka menutupi wajahnya atau jaungan-jangan mereka adalah teroris? Begitulah tanggapan jika seseorang tak memahami arti dibalik cadar itu sendiri. Pemakai cadar bagi muslimah di Indonesia barangkali bukan lagi menjadi hal asing saat ini. Jika kita berjalan-jalan di tempat umum seperti di kampus, pusat perbelanjaan, taman kota, dll seringkali kita temui muslimah yang bercadar. Bagi sebagian orang, tak jarang fenomena ini menjadi pertanyaan dalam benak pikiran mereka, apakah bercadar adalah tuntunan ajaran Islam ataukah justru hanya  merupakan sisi lain dari budaya masyarakat Arab?

         Seperti yang kita ketahui bahwa islam diturunkan oleh Allah di negeri Arab. Namun hal ini bukan berarti segala macam hukum islam hanya diperuntukkan bagi umat islam di Arab saja. Melainkan bagi siapa saja seluruh umat islam di segala penjuru dunia. Termasuk juga dengan hukum bercadar. Karena hukum islam sudah dirancang untuk bisa diimplikasikan pada setiap muslim sebagai bentuk petunjuk umatnya agar bisa menjalankan kehidupannya lebih baik.


        Para ahli fikih (hukum islam) memiliki pandangan yang berbeda dalam konteks menutup aurat,mereka seakat jika menutup aurat itu wajib hukumnya bagi laki-laki ataupun perempuan. Namun, mereka belum pernah bersepakat mengenai   batasan-batasan aurat yang harus ditutupi, khususnya aurat perempuan. Para imam empat mahzab pun tak luput berbeda pandangan tentang hal ini. Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Selanjutnya, Imam Hanafi menambahkan bahwa pergelangan kaki juga tidak termasuk bagian aurat perempuan. Berbeda dengan pendapat ketiganya, Imam Hambali berpendapat bahwa seluruh anggota tubuh perempuan, tak terkecuali wajah dan telapak tangan adalah aurat.


            Adanya perbedaan pendapat ini adalah berpacu pada keberadaan QS. An-Nur 23: 31 yang berbunyi “Katakan kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya. . .” Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud perhiasan yang biasa tampak pada ayat ini adalah muka dan tangan. Dalam mengartikan “yang (biasa) tampak” ini ada yang mengartikan muka dan tangan ada pula yang berkata bahwa muka dan tangan adalah aurat sehingga harus ditutup. Dengan adanya perbedaan ini bukan berarti bahwa cadar harus diributkan, ada kalanya jika kita telusuri terlebih dahulu bagaimana muslimah di era Rasulullah dalam hal berpakaian dan bagaimana Rasulullah menanggapinya.


         Kejadian yang pertama yaitu ketika shalat Ied, Nabi Muhammad SAW menasehati dan berkata“Hendaklah kamu bersedekah karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka jahanam!”. Maka berdirilah seorang perempuan dari tengah-tengah mereka yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “ Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para perempuan itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka yang berupa giwang dan cincin. Mereka melemparkan pada kain Bilal. Dari cuplikan di atas bisa kita beri tanda merah pada kata “pipinya merah kehitam-hitaman” maka jelaslah pada saat itu wanita tersebut tidak menutup wajahnya dengan cadar dan Rasulullah pun juga tidak mengomentari hal tersebut.

            Cuplikan kedua diambil dari hadis Imam Bukhari dari Said Al-Khudri, Rasulullah bersabda “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”  Para sahabat kemudian berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap”. Rasulullah berkata, “Jika kalian enggan meninggalkan tempat itu, berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “menundukkan pandangan, menghilangkankan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran”. Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa para sahabat diperintahkan untuk menundukkan kepala dan menjaga pandangannya karena bisa jadi pada saat di jalan, para wanita pada zaman Rasulullah dalam berhijab tidak serta merta seluruhnya menutup wajahnya karena mengingat bahwa wajah dan tangan tidak termasuk aurat.

            Kedua cuplikan di atas juga di perkuat dengan hadis yang berbunyi “Ya Asma’! Sesungguhnya seorang wanita apabila telah baligh, tidak boleh terlihat dari (anggota badannya), melainkan ini dan ini, sambil mengisyaratkan kepada muka dan dua tangannya sampai pergelangan.” (HR.Abu Daud).  Berdasarkan keterangan di diatas, yang boleh tampak dari tubuh wanita adalah muka dan tangan. Pada saat berihram, baik haji ataupun umroh, salah satu yang tidak boleh dilakukan wanita adalah menutup wajah (pakai cadar)..


           Dalam hukum islam, tidak ada perintah tegas mewajibkan memakai cadar. Rasulullah pun juga tidak mengomentari penampilan para wanita yang pada saat itu tidak bercadar, logikanya berarti bisa diartikan bahwa tindakan tersebut dibenarkan. Namun Rasulullah juga tidak melarang para wanita untuk bercadar karena istri-istri Rasulullahpun juga bercadar. Jadi, kesimpulannya adalah bahwa bercadar ditinjau dari sudut agama hukumnya adalah mustahab (dianjurkan). Mengapa wanita dianjurkan untuk bercadar? Jika dilihat dari sudut pandang sosial budaya hal ini adalah tindakan untuk mengantisipasi karena terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Apalagi pada saat zaman jahiliyah seperti yang diceritakan bahwa kelakuan manusia seperti hewan, para wanita suka menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj sehingga sangat memungkinkan terjadi zina. Karena kondisi tersebutlah maka para kaum muslimah diwajibkan untuk menutup aurat dan dianjurkan memakai cadar. Sedangkan manfaat cadar selain sebagai bentuk tameng perlindungan juga bisa dilihat manfaatnya dari segi geografis, karena letak geografis suatu wilayah yang kurang  mendukung misalnya saja seperti daerah Timur Tengah yang merupakan daratan padang pasir maka cadar bisa digunakan sebagai pelindung wajah dari debu dan terik matahari karena wajah wanita sangatlah sensitif sehingga dengan adanya cadar wajah bisa terlindungi dengan baik.

          Apabila ada di antara saudara kita yang pakai cadar, saya sangat menghargainya. Mungkin itu suatu usaha ihtiyath (hati-hati). Sedangkan bagi wanita bercadar juga tidak pantas jika menyalahkan yang memilih tidak bercadar. Saya kurang sependapat jika bercadar disebut ekstrim (berlebih-lebihan dalam beragama) atau bid’ah (tidak mengikuti sunnah Rasul) atau stigma-stigma lainnya yang bersifat menyudutkan. Kesimpulannya, seluruh tubuh wanita itu aurat kecuali wajah dan tangan. Memakai cadar bukan perbuatan ekstrim atau bid’ah, tapi ihtiyath (hati-hati). Kita patut menghargainya.

2 komentar:

  1. Islam itu luwes, hukum dalam islam yang adakalanya benar-benar ditafsirkan hitam-putih oleh para ulama, sesunguhnya adalah agar umat ora nggampane alias tidak menggampangkan atau lalai.

    Itu juga sebabnya, ada yang berpendapat sekali meninggalkan sholat, kafir artinya dan banyak lainnya.


    Yang jelas, kalau mengutip dari M. Quraish Shihab, perbedaan itu direstui agama. Yang tidak direstui adalah perpecahan. Setiap anda berusaha menghapus perbedaan, yang terjadi adalah teror.

    BalasHapus
  2. mudah-mudahan,.....cadar memang berdampak baik. dan sanggup mencetak pribadi-pribadi yang baik secara nyata. bukan lantas karena sudah memakai cadar kemudian diri merasa sudah lebih mulia.
    praktikkanlah kebaikan, jangan hanya sekedar memuja simbol-simbol kearaban. karena yang dari arab itu belum tentu muslim.

    BalasHapus