Minggu, 25 Desember 2016

Anak Berkebutuhan Khusus Jangan "dikelasduakan"






Perbedaan muncul diciptakan Tuhan dengan sengaja. Tuhan menggariskan hidup kita berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tak bisa kita elakkan apalagi diberontak. Ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan dari setiap perbedaan. Ada hikmah di balik sesuatu yang berbeda. Betapa Tuhan Maha Agung yang menciptakan berbagai warna dan rasa dalam setiap makhluknya. Kreatif, sangat kreatif. Itulah seni dalam kehidupan. Membayangkan betapa monotonnya dunia ini jika semua makhluk diciptakan sama persis. Dengan bentuk yang sama dan alur hidup yang sama,  tak ada warna di dalamnya. Hidup akan terasa membosankan. Namun yang menjadi sangat menakutkan bagi kita adalah jika Tuhan memberi perbedaan yang tak wajar. Beragam ketakutan pun seolah menyesakkan dada. Betapa mindernya kita. Bagaimana kita mampu bertahan jika hanya kita saja yang berbeda?Apakah orang-orang bisa menerima? Bagaimana jika tak pernah diterima terlebih diinginkan?
***


Menyinggung masalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), banyak diantara kita yang memandang sebelah mata karena beberapa hal. Mereka terlahir dalam keadaan yang tidak sempurna atau mengalami suatu hal yang menyebabkan mereka tidak sempurna. Mereka harus belajar untuk mengembangkan keterbatasan yang mereka miliki untuk mempertahankan hidupnya. Ada yang harus berjalan dengan menggunakan tongkat dan membaca dengan huruf khusus, ada yang harus berjalan dengan kursi roda, kaki palsu atau bahkan berjalan menggunakan tangan sekalipun. Mereka berbeda dengan kita. Mereka adalah orang-orang spesial dengan potensi yang spesial pula. Istilah ABK ini digunakan untuk mengganti istilah “penyandang cacat” yang dinilai negatif, tidak berkemanusiaan dan diskriminatif.

Dalam beberapa aspek kehidupan, banyak dari ABK yang merasa tertekan secara psikologis karena di lingkungan sosialnya, mereka selalu dinomorduakan. Tersisih dari peran aktif masyarakat karena kekurangan yang mereka miliki. Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar penyandang ABK tidak didiskriminasi. Ada ketentuan tentang fasilitas umum yang harus dilengkapi sarana untuk ABK, Dunia usaha juga berkewajiban mengalokasikan 1 % jumlah pekerjanya bagi mereka, dan sebagainya. Di tingkat daerah juga ada peraturan khusus yang mengtur tentang hak-hak ABK. Namun kenyataannya tidak demikian. Masih banyak kaum ABK yang terdiskriminasi dalam pekerjaan. Hanya sedikit dari mereka yang bisa bekerja di instansi pemerintah dan di terima di lingkungannya. Begitu juga dengan layanan dalam pendidikan. Contohnya tidak jauh-jauh, bisa kita lihat dari fasilitas di kampus yang ada di kota Malang. Akhir-akhir ini beberapa kampus di kota Malang mulai mengadakan program penerimaan mahasiswa baru dari kalangan kaum ABK. Dengan begitu kaum ABK bisa bernafas dengan lega karena telah diberi kesempatan untuk belajar pada tingkatan yang lebih tinggi. Namun kabar gembira ini tak di imbangi oleh pihak kampus sendiri dalam hal pelayanan yang diberikan pada ABK. Mereka yang spesial dan berbeda dengan kita seharusnya dilayani dengan fasilitas yang berbeda pula.

Tentu kondisi yang di gambarkan penulis di atas berbeda dengan di luar negri. Misalnya saja di Jepang. Mereka merancang fasilitas khusus bagi ABK . Jumlah kaum ABK yang menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi juga banyak sehingga dimana-mana terlihat hilir mudik mahasiswa ABK yang menjalani kehidupan perkuliahan dengan dibantu oleh fasilitas yang sudah di desain khusus sehingga memudahkan mereka beraktivitas. Dan mereka juga bisa bersosialisasi dengan mahasiswa lain tanpa ada batasan. Di harapkan mahasiswa lain bisa menjadi kawan belajar yang baik seperti berupa membacakan buku, mengajak diskusi, dll.

Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap ABK. Masih sangat jarang kita temui universitas yang menyediakan fasilitas khusus untuk kaum ABK, seperti : lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka, tersedianya toilet khusus penyandang cacat dengan pegangan di kanan-kiri yang memungkinkan pengguna kursi roda untuk berpindah, jalan khusus khusus berpemukaan rata yang diperuntukkan bagi pengguna kursi roda, laboratourium komputer khusus, hingga tempat parkir khusus bagi mereka. gambar kursi roda penanda fasilitas bagi kaum ABK,dll. Dengan ditunjangnya fasilitas-fasilitas tersebut maka ketergantungan terhadap bantuan orang lain dapat direduksi karena kampus menyediakan aksesibilitas memadai bagi para ABK . Melihat kenyataan yang ada dalam perguruan tinggi di Indonesia. Seolah-olah universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau oleh para ABK.

Di luar negri. fasilitas publik di luar kampus seperti bus kota, LRT (Light Rail Train), monorail, dan sebagainya juga sudah ramah ABK. Setelah para mahasiswa ABK itu lulus dari perguruan tinggi pun, dunia kerja relatif ramah terhadap mereka. Tersedia lowongan kerja untuk penyandang cacat baik sebagai pegawai negeri, maupun karyawan swasta, sesuai dengan keahlian masing-masing. Pemerintah Jepang memang memberikan perhatian khusus kepada mereka yang ABK. Namun kenyataanya lowongan pekerjaan di negara kita untuk kaum ABK seolah-olah masih tertutup rapat. 

Seperti  inikah warna dari kehidupan kaum ABK di negara kita? Tidakkah negara sudah menjamin penduduknya dalam berbagai aspek kehidupan bahkan untuk mereka-mereka yang berkebutuhan khusu.  Namun mengapa itu hanya janji belaka? Seperti omong kosong hitam di atas putih yang tidak pernah terealisasikan. Menjadi berita manis yang hanya menjadi sekedar “berita”. Sehingga banyak diantara mereka yang masih produktif tidak bisa mengembangkan hidupnya dan akhirnya menjual “kekurangan” dengan cara mengemis meronta-meronta di pinggiran jalan. Sungguh miris bukan?

Seharusnya pemerintah tanggap dengan kondisi seperti ini. Segera merealisasikan hak-hak layanan yang telah mereka janjikan dalan perundang-undangan negara. Membangun infrastruktur yang mendukung aksesbilitas ABK karena banyak diantara mereka yang berpotensi dan telah berprestasi. Sayang sekali jika mereka yang berpotensi dan berprestasi tidak di kembangkan. Dalam buku dan film yang pernah dilihat oleh penulis, salah satunya yaitu film “The Miracle of God” mencatat prestasi luar biasa yang dilakukan oleh Hellen Keller penyandang difabilitas penglihatan, pendengaran, dan berbicara. Ia bisa menguasai berbagai macam bahasa dan lulus dari Universitas Harvard lalu dia mendirikan “Hellen Keller Foundation” yang memberikan banyak bantuan bagi para penyandang tuna rungu, wicara dan netra di dunia. Dia sempat menulis sebuah buku yang menjadi best seller pada masa itu dan hasil dari penjualan tersebut ia sumbangkan pada ABK seperti dirinya. Tak jarang juga ia menjadi pembela hukum bagi kaum ABK yang mengalami kasus diskriminasi. Dan juga Nick Vijicic dan Hirotada Ototake yang meski tidak memiliki kaki dan tangan, namun bisa melakukan banyak hal. Bahkan sekarang Nick menjadi motivator super tingkat dunia dan video motivasinya telah membahana di dunia maya. Mereka memang memiliki keterbatasan dalam banyak hal, tapi mereka juga memiliki segudang kemampuan di luar batas-batas kemungkinan kita. Jika ada kekurangan dalam satu hal, pasti ada kelebihan di hal lain. Demikian juga dengan para penyandang difabilitas. Tidak seharusnya kita memandang sebelah mata atas keberadaan mereka. Semua sama dan semua berhak mendapatkan perlakuan yang sama.

Tidak mau kalah, di Indonesia pun juga ada beberapa kaum ABK yang berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra ada tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlahnya tergolong masih sangat minim. Sebenarnya banyak ABK Indonesia yang berprestasi namun tidak diberikan perhatian khusus bagi mereka. Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi.

                Sebenarnya di Indonesia sudah ada lembaga negara yang di tunjuk untuk pengembangan dan pemberdayaan potensi ABK. Namun pemanfaatannya dirasa penulis kurang maksimal. Karena hanya kalangan tertentu yang mengetahui prosedur layanan yang ditawarkan oleh lembaga. Kurangnya sosialisasi pemeritah itulah yang membuat sebagian besar kaum ABK tidak bisa memperoleh layanan tersebut. Seharusnya pemerintah terlibat aktif terjun di lapangan terutama di daerah-daerah pedesaan atau tempat terpencil yang susah mendapatkan akses informasi. Dari situlah pemerintah bisa melakukan pendataan dan penjaringan kaum ABK untuk di bina di lembaga agar mereka bisa lebih survive dalam kehidupannya dan bisa melahirkan  Mansyur  Semma, Ahmad Basri, Nick Vijicic,  Hirotada Ototake dan  Hellen Keller-Hellen Keller baru dalam catatan dunia.

                Selain sosialisasi lembaga-lembaga layanan sosial pemberdayaan ABK pada masyarakat luas, setidaknya pemerintah juga harus mencanangkan dana dari APBN untuk kelancaran fasilitas publik yang layak bagi kaum ABK seperti yang telah dicontohkan oleh negara-negara lain. Betapa ramahnya mereka memperlakukan kaum ABK di negaranya. Dan demi kenyamanan belajar, di sekolah atau di universitas-universitas yang ada di Indonesia juga harus menambah layanan khusus karena yang belajar disana tidak hanya orang-orang biasa namun orang-orang luar biasa pun juga ingin menempuh pendidikan yang sama dengan kita. Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga perguruan tinggi yang lain memelopori gerakan untuk ramah terhadap ABK. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah ABK, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada ABK untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus ABK, memberi keterampilan khusus yang bisa digunakan sebagai mata pencaharian mereka nantinya,pendampingan, dll. 

                Dengan seiring berkembangnya zaman, keberadaan lembaga-lembaga yang melayani ABK seperti bertambahnya SLB, adanya program inklusi di sekolah formal, dan yayasan-yayasan sosial peduli ABK milik pemerintah ataupun swasta perlu bekerja keras lagi agar jangan sampai ABK dianggap “sampah”. Mereka bisa diberdayakan sesuai dengan minat dan bakatnya seperti yang penulis lihat di PRSBCN Malang yang memberdayakan tuna netra dengan pelatihan pijat, lalu ada pula yayasan yang memberdayakan mereka dalam pelatihan menjahit, membuat kerajinan tangan, menyulam, memasak, dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu pemberdayaan ABK sangatlah penting mengingat bahwa ABK bukanlah masyarakat “kelas dua”. Potensi yang mereka miliki sangat perlu untuk di apresiasi. Menyemangati mereka dan menghargai segala macam perbedaan yang ada di sekitar adalah suatu kewajiban untuk membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar