Perbedaan muncul diciptakan Tuhan dengan sengaja. Tuhan menggariskan hidup kita berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tak bisa kita elakkan apalagi diberontak. Ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan dari setiap perbedaan. Ada hikmah di balik sesuatu yang berbeda. Betapa Tuhan Maha Agung yang menciptakan berbagai warna dan rasa dalam setiap makhluknya. Kreatif, sangat kreatif. Itulah seni dalam kehidupan. Membayangkan betapa monotonnya dunia ini jika semua makhluk diciptakan sama persis. Dengan bentuk yang sama dan alur hidup yang sama, tak ada warna di dalamnya. Hidup akan terasa membosankan. Namun yang menjadi sangat menakutkan bagi kita adalah jika Tuhan memberi perbedaan yang tak wajar. Beragam ketakutan pun seolah menyesakkan dada. Betapa mindernya kita. Bagaimana kita mampu bertahan jika hanya kita saja yang berbeda?Apakah orang-orang bisa menerima? Bagaimana jika tak pernah diterima terlebih diinginkan?
***
Menyinggung
masalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), banyak diantara kita yang memandang sebelah mata karena beberapa
hal. Mereka terlahir dalam keadaan yang tidak sempurna atau mengalami suatu hal
yang menyebabkan mereka tidak sempurna. Mereka harus belajar untuk
mengembangkan keterbatasan yang mereka miliki untuk mempertahankan hidupnya.
Ada yang harus berjalan dengan menggunakan tongkat dan membaca dengan huruf
khusus, ada yang harus berjalan dengan kursi roda, kaki palsu atau bahkan
berjalan menggunakan tangan sekalipun. Mereka berbeda dengan kita. Mereka
adalah orang-orang spesial dengan potensi yang spesial pula. Istilah ABK ini
digunakan untuk mengganti istilah “penyandang cacat” yang dinilai negatif,
tidak berkemanusiaan dan diskriminatif.

Tentu
kondisi yang di gambarkan penulis di atas berbeda dengan di luar negri.
Misalnya saja di Jepang. Mereka merancang fasilitas khusus bagi ABK . Jumlah
kaum ABK yang menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi juga banyak
sehingga dimana-mana terlihat hilir mudik mahasiswa ABK yang menjalani kehidupan
perkuliahan dengan dibantu oleh fasilitas yang sudah di desain khusus sehingga
memudahkan mereka beraktivitas. Dan mereka juga bisa bersosialisasi dengan
mahasiswa lain tanpa ada batasan. Di harapkan mahasiswa lain bisa menjadi kawan
belajar yang baik seperti berupa membacakan buku, mengajak diskusi, dll.
Universitas
sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak
ramah terhadap ABK. Masih sangat jarang kita temui universitas yang menyediakan
fasilitas khusus untuk kaum ABK, seperti : lift bagi pemakai kursi roda
atau guiding block bagi tunanetra, perpustakaan dan laboratorium khusus
untuk mereka, tersedianya toilet khusus penyandang cacat dengan pegangan di
kanan-kiri yang memungkinkan pengguna kursi roda untuk berpindah, jalan khusus
khusus berpemukaan rata yang diperuntukkan bagi pengguna kursi roda,
laboratourium komputer khusus, hingga tempat parkir khusus bagi mereka. gambar
kursi roda penanda fasilitas bagi kaum ABK,dll. Dengan ditunjangnya
fasilitas-fasilitas tersebut maka ketergantungan terhadap bantuan orang lain
dapat direduksi karena kampus menyediakan aksesibilitas memadai bagi para ABK .
Melihat kenyataan yang ada dalam perguruan tinggi di Indonesia. Seolah-olah
universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau oleh para ABK.
Di
luar negri. fasilitas publik di luar kampus seperti bus kota, LRT (Light
Rail Train), monorail, dan sebagainya juga sudah ramah ABK. Setelah para
mahasiswa ABK itu lulus dari perguruan tinggi pun, dunia kerja relatif ramah
terhadap mereka. Tersedia lowongan kerja untuk penyandang cacat baik sebagai
pegawai negeri, maupun karyawan swasta, sesuai dengan keahlian masing-masing.
Pemerintah Jepang memang memberikan perhatian khusus kepada mereka yang ABK.
Namun kenyataanya lowongan pekerjaan di negara kita untuk kaum ABK seolah-olah
masih tertutup rapat.
Seperti inikah warna dari kehidupan kaum ABK di
negara kita? Tidakkah negara sudah menjamin penduduknya dalam berbagai aspek
kehidupan bahkan untuk mereka-mereka yang berkebutuhan khusu. Namun mengapa itu hanya janji belaka? Seperti
omong kosong hitam di atas putih yang tidak pernah terealisasikan. Menjadi
berita manis yang hanya menjadi sekedar “berita”. Sehingga banyak diantara
mereka yang masih produktif tidak bisa mengembangkan hidupnya dan akhirnya
menjual “kekurangan” dengan cara mengemis meronta-meronta di pinggiran jalan.
Sungguh miris bukan?
Seharusnya
pemerintah tanggap dengan kondisi seperti ini. Segera merealisasikan hak-hak
layanan yang telah mereka janjikan dalan perundang-undangan negara. Membangun
infrastruktur yang mendukung aksesbilitas ABK karena banyak diantara mereka
yang berpotensi dan telah berprestasi. Sayang sekali jika mereka yang
berpotensi dan berprestasi tidak di kembangkan. Dalam buku dan film yang pernah
dilihat oleh penulis, salah satunya yaitu film “The Miracle of God” mencatat
prestasi luar biasa yang dilakukan oleh Hellen Keller penyandang difabilitas
penglihatan, pendengaran, dan berbicara. Ia bisa menguasai berbagai macam
bahasa dan lulus dari Universitas Harvard lalu dia mendirikan “Hellen Keller
Foundation” yang memberikan banyak bantuan bagi para penyandang tuna rungu,
wicara dan netra di dunia. Dia sempat menulis sebuah buku yang menjadi best
seller pada masa itu dan hasil dari penjualan tersebut ia sumbangkan pada ABK seperti
dirinya. Tak jarang juga ia menjadi pembela hukum bagi kaum ABK yang mengalami
kasus diskriminasi. Dan juga Nick Vijicic dan Hirotada Ototake yang meski tidak
memiliki kaki dan tangan, namun bisa melakukan banyak hal. Bahkan sekarang Nick
menjadi motivator super tingkat dunia dan video motivasinya telah membahana di
dunia maya. Mereka memang memiliki keterbatasan dalam banyak hal, tapi mereka
juga memiliki segudang kemampuan di luar batas-batas kemungkinan kita. Jika ada
kekurangan dalam satu hal, pasti ada kelebihan di hal lain. Demikian juga
dengan para penyandang difabilitas. Tidak seharusnya kita memandang sebelah
mata atas keberadaan mereka. Semua sama dan semua berhak mendapatkan perlakuan
yang sama.
Tidak mau
kalah, di Indonesia pun juga ada beberapa kaum ABK yang berprestasi. Sekedar
gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra ada tuna netra Indonesia yang
berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin
tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001).
Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlahnya tergolong masih
sangat minim. Sebenarnya banyak ABK Indonesia yang berprestasi namun tidak
diberikan perhatian khusus bagi mereka. Padahal, jika mereka diberi kesempatan
dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi.
Sebenarnya di Indonesia sudah
ada lembaga negara yang di tunjuk untuk pengembangan dan pemberdayaan potensi ABK.
Namun pemanfaatannya dirasa penulis kurang maksimal. Karena hanya kalangan
tertentu yang mengetahui prosedur layanan yang ditawarkan oleh lembaga.
Kurangnya sosialisasi pemeritah itulah yang membuat sebagian besar kaum ABK tidak
bisa memperoleh layanan tersebut. Seharusnya pemerintah terlibat aktif terjun
di lapangan terutama di daerah-daerah pedesaan atau tempat terpencil yang susah
mendapatkan akses informasi. Dari situlah pemerintah bisa melakukan pendataan
dan penjaringan kaum ABK untuk di bina di lembaga agar mereka bisa lebih survive dalam kehidupannya dan bisa
melahirkan Mansyur Semma, Ahmad Basri, Nick Vijicic, Hirotada Ototake dan Hellen Keller-Hellen Keller baru dalam
catatan dunia.
Selain sosialisasi
lembaga-lembaga layanan sosial pemberdayaan ABK pada masyarakat luas,
setidaknya pemerintah juga harus mencanangkan dana dari APBN untuk kelancaran
fasilitas publik yang layak bagi kaum ABK seperti yang telah dicontohkan oleh
negara-negara lain. Betapa ramahnya mereka memperlakukan kaum ABK di negaranya.
Dan demi kenyamanan belajar, di sekolah atau di universitas-universitas yang
ada di Indonesia juga harus menambah layanan khusus karena yang belajar disana
tidak hanya orang-orang biasa namun orang-orang luar biasa pun juga ingin
menempuh pendidikan yang sama dengan kita. Sudah selayaknya,
universitas-universitas kita dan juga perguruan tinggi yang lain memelopori
gerakan untuk ramah terhadap ABK. Aksi nyatanya dapat berupa membangun
fasilitas fisik yang ramah ABK, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada ABK untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan
beasiswa khusus ABK, memberi keterampilan khusus yang bisa digunakan sebagai
mata pencaharian mereka nantinya,pendampingan, dll.
Dengan seiring berkembangnya
zaman, keberadaan lembaga-lembaga yang melayani ABK seperti bertambahnya SLB,
adanya program inklusi di sekolah formal, dan yayasan-yayasan sosial peduli ABK
milik pemerintah ataupun swasta perlu bekerja keras lagi agar jangan sampai ABK
dianggap “sampah”. Mereka bisa diberdayakan sesuai dengan minat dan bakatnya
seperti yang penulis lihat di PRSBCN Malang yang memberdayakan tuna netra
dengan pelatihan pijat, lalu ada pula yayasan yang memberdayakan mereka dalam
pelatihan menjahit, membuat kerajinan tangan, menyulam, memasak, dan masih
banyak lagi.
Oleh
karena itu pemberdayaan ABK sangatlah penting mengingat bahwa ABK bukanlah
masyarakat “kelas dua”. Potensi yang mereka miliki sangat perlu untuk di
apresiasi. Menyemangati mereka dan menghargai segala macam perbedaan yang ada
di sekitar adalah suatu kewajiban untuk membangun bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang berbudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar