Masyarakat Indonesia mayoritas adalah muslim,
berbagai acara atau tradisi menyambut Ramadhan banyak digelar di segala penjuru
nusantara. Tentu saja berbeda-beda caranya namun semangatnya tetap sama, yakni
merupakan bentuk ucap syukur serta kegembiraan umat muslim akan datangnya bulan
puasa. Umat islam di segala penjuru tanah air punya tradisi dan cara unik
tersendiri dalam menyambut datangnya bulan suci ini. Bulan penuh berkah dan
maghfirah ini di sambut dengan suka cita dengan cara yang sangat beragam. Ada
yang menggelar karnaval, menyembelih hewan dan masih banyak lagi. Ternyata
kebiasaan para pendahulu kita di masa lampau masih menjadi tradisi sampai saat
ini.
***
Sehari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, di
daerah saya tepatnya daerah bersejarah bernaungnya Raja Ken Arok dan Ken Dedes
yaitu Singosari, Kabupaten Malang masih lekat adanya tradisi nyadran. Dalam http://jv.wikipedia.org/wiki/Nyadran menjelaskan bahwa Nyadran
iku salah siji prosèsi adat budhaya Jawa awujud kagiyatan setaun sepisan ing
sasi Ruwah wiwit saka resik-resik saréan leluhur, mangsak panganan tertamtu
kaya déné apem, ater-ater lan slametan utawa kenduri. Jeneng nyadran iki asalé
saka tembung sraddha, nyraddha, nyraddhan, banjur dadi nyadran. Terjemahnya
dalam bahasa Indonesia kurang lebih, ‘Nyadran adalah salah satu prosesi adat
jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di bulan ruwah (sya’ban), dari mulai
bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem, bagi-bagi
makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama nyadran sendiri berasal
dari kata Sradha – nyradha – nyradhan, kemudian menjadi nyadran.
Masyarakat setempat berziarah ke makam sanak
familinya. Selain mendoakan mayit, mereka juga membersihkan rumput-rumput
ilalang di makamnya lalu menyirami tanahnya dengan air agar tetap lembab dan
menaburinya dengan bunga. Di dalam Alquran memang tidak ada istilah
“nyadran”. Ada pula yang mengatakan bahwa nyadran merupakan tradisi umat Hindu-Budha
sehingga nyadran dikatakan sebagai tindakan bid’ah bagi imat islam. Namun bisa
dilihat dari sejarah islam di pulau jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh
walisongo menggunakan pendekatan budaya. Dari budaya menyembah makam leluhur
diubah dengan acara membersihkan makam dan berziarah tidak lain hanya untuk
mendoakan mayit serta agar kita selalu mengingat kematian. Dengan mengingat
kematian, kita senantiasa mengingat Allah dan diharapkan bisa meningkatkan
keimanan kita.
Setelah warga setempat berziarah ke makam,
pada sore harinya mereka melakukan tradisi yang disebut dengan megengan. yaitu selamatan sebelum menjalankan puasa. Tradisi
megengan ini dibungkus dalam acara kenduri yang di awali dengan doa bersama dan
dilanjutkan dengan berbagi makanan dengan saudara beserta tetangga. Berbagi
makanan ini bisa dilakukan dengan kenduri kecil yang berisi 5 sampai 10 kepala
keluarga tetangga kiri kanan rumah atau bisa juga mengirim makanan di masjid
lalu berdoa bersama-sama dan bisa juga dilakukan
dengan cara ater-ater pada saudara dan tetangga. Makanan yang disajikan tidak
perlu harus mewah, cukup seadanya saja yang penting ada kue apemnya. Ada maksud
tersendiri dari kue apem ini. Apem berasal dari kosa kata bahasa Arab ‘Afwan’
yang berarti maaf. Kue ini dijadikan simbol saling memaafkan sebelum memasuki
bulan Ramadhan. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk mengajarkan
artian berbagi kepada sesama dalam ajaran islam dan pentingnya menyambung tali
silaturahmi. Tradisi nyadran dan megengan ini merupakan tradisi kejawen. Bisa
jadi orang yang fanatik akan mengangggap bahwa tradisi seperti ini haram
dilakukan karena bukan budaya islam sesuai yang ada di Alqur’an. Namun perlu
diketahui bahwa nyadran dan megengan ini telah menjelaskan konsep islam. Islam
merupakan agama yang berbudi luhur, saling memaafkan, berbagi dengan sesama dan
saling mendoakan. Semua itu sudah terangkum dalam tradisi nyadran dan megengan.
Tinggal kita saja yang harus pandai-pandai memetik intisari islamnya dalam
tradisi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar