Rabu, 08 Februari 2017

Dag-dig-dug



 “Inilah tanda kebesarannya, setelah sekian lama menunggu. Ku Pasrahkan rizki, mati , dan jodohku”


 Suara adzan subuh dan kokok ayam memaksa mataku untuk bangun meski aku masih sangat mengantuk. Ku paksakan diri untuk membuang selimutku dan segera bergegas ke kamar mandi. Hari masih sangat pagi tapi tidak ada kata untuk bermalas-malasan walaupun hari itu adalah hari minggu. Minggu kedua februari ini ada agenda penting yang telah ku catat jauh-jauh hari sebelumnya.  Mengapa? Karena hari ini adalah hari bahagia dan bersejarah dalam hidupku.
***

 Dag, dig, dug
 Dag, dig, dug
“Keluarga mempelai pria akan datang 10 menit lagi, Win.” Ucap Farida sambil tersenyum
“Oh iya kah?” Tanyaku sambil sedikit gemetar

Ku teguk air minum di depanku. Lalu ku meminta ijin untuk pergi ke toilet.

Keluarga mempelai pria akan datang pukul 09.00 dan sekarang telah menunjukkan pukul 08.50. Aku semakin gugup tak karuan. Tanganku bergetar dan terasa dingin. Hingga makan pun aku tak sanggup. Aku hanya duduk terdiam sembari melihat lalu lalang keluarga dan para tetangga yang ingin menyaksikan momen bahagia ini.

Dari depan rumah terdengar suara mobil berhenti dan Budhe Sati memberikan kode jika mempelai pria sudah tiba. Aku semakin deg-degan tak karuan. Segera ku raih tangan sahabatku Farida menuju depan rumah.

 “Tangan kamu dingin banget, Win? Pasti kamu deg-degan yaaa… hayooo ngakuuuu.”  Gurau Farida
 “Iya nih. Aku belum pernah secemas ini,Da. “ Jawabku polos.

 “Tenaaang. Semuanya pasti akan berjalan lancar. Aku percaya sama kamu, Win.”
 “Makasih ya,Da. Kamu emang sahabatku yang terbaik.”

Mempelai pria beserta keluarga keluar dari mobil. Musik gamelan kebo giro yang merupakan musik tradisional iring-iring temanten (red:pengantin) mengiringi prosesi pernikahan ini.
***

Keluarga mempelai pria telah memenuhi kursi tamu undangan. Aku tak menyangka jika hari itu akan tiba juga setelah sekian lama bersabar untuk menunggu. Hari itu bulan februari 2016 merupakan hari bahagia dan juga sedih bagiku. Aku bahagia karena hari ini adalah hari pernikahan. Bagaimana tidak bahagia karena pada akhirnya di usia yang ke-22 tahun telah dipertemukan dengan seorang pria shalih yang hendak meminang. Janji Allah memang benar adanya jika jodoh adalah cerminan diri dan akan datang pada waktu yang tepat.

 Di hari bahagia ini aku juga sedih. Aku sedih karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan sahabat terbaikku, Farida. Kami berdua adalah sahabat yang berteman sejak kecil. Sejak aku menjadi santri di rumah seorang ustadzah yang rumahnya tak jauh dari rumah Farida. Farida adalah sosok teman wanita yang cukup ku kagumi. Caranya menjaga diri membuatku harus banyak belajar darinya.  Kesedihanku semakin membuatku larut pada kenangan masa lalu. Semasa kecil ketika aku tak punya teman bermain Farida datang, dekat dan berteman lekat hingga kami sama-sama tumbuh semakin dewasa. Tak jarang kami bermain dan belajar bersama karena rumah kami ada dalam satu kampung.  Farida adalah teman yang baik. Tempat bercerita kala suka dan duka. Entah apa yang membuat kami sama-sama cocok untuk saling berbagi. Sosoknya yang sederhana mencerminkan makna syukur atas segala yang diberikan Tuhan padanya.
Seluruh hadirin beserta penghulu telah siap. Ijab qobul pun diucapkan dengan dilanjutkan doa bersama. Suasana menjadi semakin hikmat. Aku meresapi semua yang terjadi hari ini. Tak kuasa mataku berkaca-kaca jatuh bagaikan rintik bulir-bulir hujan. Para hadirin yang menyaksikan momen ini pun merasa bahagia. Dengan begitu, maka aku akan menjadi jauh dari seseorang yang cukup berarti dalam hidupku. Jodoh memang tak ada yang tahu kapan akan datang. Ia akan datang saat kita telah siap. Dan kita harus menyadari bahwa jodoh yang datang adalah cerminan dari diri kita sendiri. Siapa yang menanam pasti akan memanen. Tanamlah kebaikan. Karena wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik begitu sebaliknya.

 Ijab qobul telah usai, semuanya tersenyum bahagia. Farida, sahabatku memelukku dengan erat sembari berbisik
“Terimakasih sahabatku, tuntas sudah tugasmu hari ini, kamu emang pembawa acara terbaik. Jangan sedih karena aku dan suamiku akan tinggal di Malang.” Gumamnya.

 Aku tersenyum,  segera ku raih mikrofon lalu kuucapkan selamat kedua mempelai. Maklum aku belum terbiasa menjadi pembawa acara pernikahan. Sekarang, tanpa dag-dig-dug  lagi ku lanjutkan tugasku sebagai pembawa acara pernikahan ini hingga selesai dan semuanya yang hadir nampak bergembira ria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar