Senin, 06 Februari 2017

Negeriku Menantikan Kiprah Pemuda: Bercermin pada Filosofi Beringin




Belajar dari sebuah filsafat tentang suatu keadilan yang syarat akan makna yaitu bercermin pada beringin. Siapa yang tidak tahu tentang beringin. Semua orang pasti mengetahuinya. Beringin, merupakan pohon yang bisa beradaptasi dimana saja. Perwujudannya dikenal teduh dan memiliki estetika tersendiri dengan akar menjalar dan menggantung. Saking indahnya, pohon ini seringkali menjadi obyek rekayasa dengan dibuat bentuk yang lebih unik karena ukurannya yang mini atau sering kita sebut sebagai pohon bonsai.

 Dari kutipan yang diambil oleh penulis mengenai arti simbol pohon beringin ini mengatakan bahwa dalam riwayatnya, pohon ini menjadi simbol partai politik dan juga lembaga peradilan di Indonesia. Filosofi pohon beringin khusus di lembaga Peradilan masih ditambah penguatan kata “pengayoman” yang artinya kurang lebih mengayomi para pencari keadilan. Keteduhan pohon beringin diharapkan memberikan rasa teduh bagi mereka yang berhubungan dengan lembaga peradilan. Daunnya yang rindang, akarnya yang indah menjulur menggelantung dan kuat serta bentangannya yang lebar, pohon ini memang cocok sebagai tempat istirahat dikala panas dan penat yang sejalan dengan tugas dan kewenangan Lembaga Peradilan yang mewajibkan bagi para hakim untuk mampu menyelesaikan perkara dengan seadil-adilnya. Hakim diharap mampu bertidak bijak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan hati nuraninya. Tidak ada lembaga lain di Indonesia ini yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara/ konflik kecuali lembaga peradilan. Oleh karena itu, tumpuan akhir para pencari keadilan adalah lembaga ini. Lembaga peradilan harus mampu dipercaya, punya wibawa dan mampu melahirkan putusan-putusan yang adil. Hakim wajib menjalankan amanahnya selaku orang  paling bijak  bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kira-kira itulah makna simbol beringin dan kata “pengayoman” di Lembaga Peradilan umum.

Namun, lain ide lain fakta. Pohon beringin bukan lagi tempat berteduh yang nyaman dan tenang bagi para pencari keadilan. Pohon beringin berubah menjadi tempat angker yang menakutkan, panas dan syarat dengan cerita-cerita mengerikan. Disana bercokol banyak “gendruwo” berjubah dengan senjata “palunya”. Sehingga orang-orang yang akan berlindung dibawah pohon ini akan takut padahal mereka telah dilanda kesulitan. Tidak salah jika pemimpin negeri ini terusik juga dengan cerita makin gentayangnnya para gendruwo ini yang tidak saja “penunggu” pohon beringin, tapi telah meluas ke “pohon-pohon” sekitarnya yang pada dasarnya sama angkernya. Lahirnya Satgas Mafia Hukum, KPK dan tumbuh suburnya lembaga swadaya msyarakat tidak lain untuk “menembaki” para gendruwo ganas.  Sayangnya langkah Satgas dan KPK  ini seringkali terhadang oleh faktor-faktor politik sehingga hanya mampu melumpuhkan sebagian gendruwo kecil. Sementara induknya masih berkeliaran mencari korban-korban baru. Satgas versus “Gendruwo Berdasi” menjadi pembicaraan yang tidak pernah habis, sepanjang “pohon beringin” masih angker dan menjadi tempat kerasan bagi para penghuninya.  Itulah gambaran dari negeri kita Indonesia tercinta yang bisa kita baca dari filosofi pohon beringin. Akankah selamanya pemuda Indonesia seperti ini? Tidur pulas saat birokrasi dalam negeri tak lagi mengayomi, tak mau tahu saat rakyat kecil tak lagi terlindungi dan kemrosotan moral serta penegakan hukum hanya slogan belaka.

Saat mengenang peristiwa yang telah terjadi pada zaman perjuangan dan apabila para pejuang kita masih hidup di zaman era 2000–an ini mungkin mereka akan prihatin, menangis dan marah kepada kita semua lantaran kita tak dapat mempertahankan perjuangan mereka. Rasanya perjuangan mereka sia-sia padahal mereka sudah berkorban sampai titik darah penghabisan. “MERDEKA ATAU MATI” itulah prinsip mereka. Hanya berbekal pedang di kanan dan keris di kiri mereka mampu mengusir penjajah yang keji dari NKRI. Apa kita tidak malu dengan para pahlawan kita?. Zaman sudah semakin maju. Perkembangan IPTEK juga semakin pesat. Kita tak lagi harus bersembunyi karena takut dengan penjajah. Lantas apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita berjuang untuk negeri tercinta? Dan dengan cara apa kita memperjuangkan kembali negeri ini agar tetap hidup? Dalam esai ini penulis akan memaparkan lebih jauh tentang kebangkiatan dan perjuangan anak negeri untuk tanah air tercinta. Dari pemuda untuk Indonesia.

Pemuda Indonesia adalah generasi penerus bangsa. Pewaris budaya-budaya luhur yang ditinggalkan sejak zaman nenek moyang. Mungkin sudah hilang dari ingatan kita tentang budaya-budaya luhur bangsa Indonesia. Dimana sekarang lebih dominan budaya asing yang masuk, muncul dan merasuk ke dalam masyarakat Indonesia ketimbang budaya aslinya. Memaksa Indonesia melupakan jati dirinya sendiri. Pernah ketika penulis mengunjungi event tahunan di kota Malang yang bertajukkan tentang nuansa Malang Tempoe Doeloe. Sesuai dengan namanya, dalam benak mungkin kita bisa membayangkan suasana dalam perhelatan tersebut yaitu dekorasi, kostum, jajanan yang dijual dan pertunjukan yang disajikan benar-benar menduplikasi kehidupan rakyat di masa tempo dulu. Namun kenyataannya tidak. Pengunjung lebih bangga mengenakan kostum modernnya yang bermerek distro dan menduplikasi gaya-gaya emo, harajuku, britpop dan berambut mohawck. Makanan yang dijual seperti gethuk, lupis, gulali dan makanan tradisional lainnya juga tergeser dengan adanya stan makanan yang menjual aneka makanan fastfood, dll. Panggung pertunjukan ludruk, wayang kulit dan tarian daerah juga tak lagi ramai dikunjungi. Sungguh miris bukan?.  Padahal negara lain belum tentu memiliki keberagaman budaya seperti yang telah dimiliki Indonesia bahkan banyak dari mereka yang berambisi untuk mengklaim warisan budaya yang kita miliki.

Pemuda yang gaul tidak harus mengadopsi style modern dari negara asing yang saat ini sedang menjadi tranding topic. Padahal jika kita ingin dianggap sebagai anak muda yang gaul banyak hal yang bisa kita ambil dari dunia luar. Misalnya saja di bidang teknologi. Kita bisa belajar tentang perkembangan teknologi modern di luar sana yang bisa kita terapkan dan di kembangkan di negara kita. Karena pada realitanya banyak barang yang berhubungan dengan teknologi kita yang masih mengimpor dari luar bahkan karena minimnya teknologi kita, banyak bahan mentah hasil dari sumber daya alam negara kita yang harus di ekspor ke luar negeri lalu di olah dan di jual oleh mereka ke Indonesia dengan harga yang lebih mahal. Seandainya kita lebih melek teknologi mungkin akan lebih berguna dibandingkan dengan hanya ikut-ikutan meniru budaya barat yang notabennya berbeda dengan budaya kita dan hanya akan menjadi “penjajah jilid 2” yang akan melunturkan warisan budaya nusantara.

Dari sudut pandang pertahanan warisan budaya nampaknya kita masih perlu  menanamkan dalam diri masing-masing untuk cinta produk dalam negeri. Rasa bangga memiliki warisan budaya negeri harus kita tanamkan sejak dini pada anak negeri karena jika bukan kita siapa lagi yang akan melestarikannya?. Mengingat bahwa generasi pemuda adalah pemegang kendali masa depan Indonesia yang lebih baik dan membanggakan. Dari sudut pandang moralitas, sudah terbiasa telinga kita mendengar kata-kata korupsi disetiap berita yang muncul baik televisi, radio maupun koran. Kebobrokan moral yang sering ditunjukkan sekarang ini, rasanya amat sulit untuk dihilangkan dari orang-orang yang masih terlibat di dalam roda pemerintahan. Tidak hanya korupsi namun berita kriminal juga kerap kali kita temui diberbagai media. Bukankah kita saat ini hidup di negara yang berkiblat pada budaya ketimuran dan notabennya berbudaya adi luhur? Dari sekian banyak kemrosotan moral itulah, harapan merubah keadaan bangsa jelas tertumpu kepada generasi muda yang jujur, adil dan bijaksana. Rasa prihatin terhadap keadaan maupun segala kejadian di negeri sendiri, sudah sepantasnya dijadikan refleksi bagi para pemuda untuk berkontribusi meraih masa depan bangsa. Ingatlah bahwa generasi muda bukan hanya sebagai generasi penerus melainkan juga sebagai generasi pelurus. Harapan bangsa ini sepenuhnya diletakkan di atas pundak generasi muda.

Disinilah peran aktif pemuda Indonesia dituntut, sudah saatnya pemuda bergerak untuk membawa bangsa ini menyongsong masa depan yang cerah. Tidak hanya seorang pemimpin negara dan birokrat negeri yang harus bercermin pada filosofi pohon beringin. Tapi kita semuanya sebagai pemuda Indonesia seharusnya juga bersama-sama bercermin pada filosofi tersebut. Karena setiap dari kita adalah seorang pemimpin yang harus memimpin dirinya sendiri sebelum bisa memimpin orang lain. Tanamkan jiwa pemimpin, bukan jiwa pemimpi yang hanya menggembor-gemborkan visi misi NATO, Nothing Action Talk Only. Tumbuhlah dan berkembang seperti pohon beringin. Tidak perlu tumbuh menjulang tinggi, sedang namun rindang agar seseorang merasa nyaman saat berlindung dibawahnya. Begitu pula hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin bukanlah orang yang mempunyai kedudukan tinggi, tetapi pemimpin adalah orang yang dapat mengayomi rakyatnya. Jadikanlah filosofi pohon beringin sebagai personal branding pemuda Indonesia sebagai driver futuritas bangsa untuk mencapai negara yang makmur dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar